Yogyakarta - Hadirnya regulasi yang setara dalam dunia penyiaran dan media baru dipandang sebagai sebuah keharusan dalam upaya menjaga Negar...
Yogyakarta - Hadirnya regulasi yang setara dalam dunia penyiaran dan media baru dipandang sebagai sebuah keharusan dalam upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Rancangan undang-undang penyiaran yang mulai digodok di Komisi I. Namun yang tak kalah penting adalah tentang kesetaraan regulasi antar-platform media. Saat ini, lembaga penyiaran baik itu publik atau pun swasta dipantau secara ketat.
"Jika konten di ruang publik baik itu melalui penyiaran atau pun jaringan internet tidak dikontrol, akan membahayakan nilai-nilai Pancasila. Kalau tidak dikonstruksi bersama hingga semua bebas mengadopsi nilai apapun dan disiarkan tanpa ada filter nilai Pancasila, kebebasan mutlak di media ini akan menjadi ancaman bagi ketahanan nasional. Anak-anak yang hari ini berusia dua puluh tahun ke bawah tidak memahami nilai-nilai Pancasila yang diletakkan oleh para founding father negeri ini, sehingga tiga puluh hingga empat puluh tahun lagi kita tidak tahu nilai-nilai apa saja yang akan mereka pakai," ujarnya pada Sosialisasi Empat Pilar MPR di Yogyakarta (6/3).
Penyiaran sendiri, diyakini Sukamta, mampu membentuk peradaban bangsa. Saat ini kita diributkan oleh konten hoaks serta intoleran dengan segala pertikaiannya di media sosial. Kalau hal ini tidak ada filter, ujar Sukamta, akan menjadi seperti apa media dan kultur yang dipraktekkan masyarakat di masa mendatang. Hal inilah, yang dikhawatirkan Sukamta akan membahayakan eksistensi dari NKRI.
“Sehingga mungkin NKRI tidak hancur dari serangan musuh luar, tapi justru terancam dari budaya sendiri, akibat warna, isi dan konten penyiaran sekarang,” tegasnya.
Bicara soal soal Global Village, menurut Sukamta, revolusi digital di bidang media komunikasi dan penyiaran akan melahirkan dua kemungkinan. Yang pertama, hadirnya kampung global yang mengoneksikan seluruh masyarakat dunia lewat media komunikasi digital hingga menjadi bersaudara dalam hubungan yang saling menguntungkan. Kemungkinan kedua, menurut Sukamta adalah Global Pillage atau penjarahan global. Yakni suatu kondisi masyarakat dunia yang saling terkoneksi, namun pada hakikatnya saling memangsa. Yang satu melakukan penjarahan baik ekonomi, sosial, budaya, pemikiran, ideologi maupun politik terhadap yang lain.
Sukamta mengakui, tantangan luar biasa bagi industri penyiaran di Indonesia untuk merumuskan muatan yang layak tayang untuk Indonesia yang beragam. Penyiaran, selain menyangkut sisi peradaban, juga meyangkut sisi ragam budaya yang harus diakomodir. Ada pula etika dan agama, ujar Sukamta. Mengingat peradaban yang sukses itu yang selalu menjunjung tinggi etika.
"Karena tidak ada peradaban yang bertahan ratusan tahun, tapi tidak punya etika yang dipegang bersama,” tegasnya.